Model
|
PVT
|
Dependent variable
|
PVT
|
Label
|
Jumlah
Penduduk Miskin
|
Model
|
6
|
833.1200
|
138.8533
|
6.55
|
0.0007
|
Error
|
19
|
402.5656
|
21.18766
|
|
|
Corrected var
|
25
|
1235.686
|
|
|
|
Root MSE
|
4.60301
|
|
R- Square
|
0.67422
|
Dependent Mean
|
32.48615
|
|
Adj R-Sq
|
0.57134
|
Coeff Var
|
14.16913
|
|
|
|
Intercept
|
1
|
68.38190
|
9.536379
|
7.17
|
<.0001
|
Intercept
|
GCOVBRS
|
1
|
0.114783
|
0.342185
|
0.34
|
0.7410
|
Pertumbuhan Konversi
Lahan Beras
|
LGDRP
|
1
|
-0.92901
|
0.294232
|
-3.23
|
0.0045
|
LAG Pertumbuhan GDP
|
LQBRS
|
1
|
-4.7E-7
|
2.752E-7
|
-1.71
|
0.1037
|
LAG Produksi Beras
|
LQKDL
|
1
|
-9.67E-6
|
3.093E-6
|
-3.13
|
0.0056
|
LAG Produksi Kedelai
|
LQGULA
|
1
|
-1.24E-6
|
4.165E-6
|
-0.30
|
0.7686
|
Lag Produksi Gula
|
DQMEAT
|
1
|
-2.57E-6
|
0.000027
|
-0.10
|
0.9244
|
Selisih Produksi Daging
|
Durbin-Watson
|
1.959076
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
0.015771
|
1.
Persamaan
PVT = 68.38190 + 0.114783GCOVBRS - 0.92901LGDPR
(0.342185) (0.294232)A
- 4.7E-7LQBRS
- 9.67E-6LQKDL -
1.24E-6LQGULA
(2.752E-7)C
(3.093E-6)A (4.165E-6)
- 2.57E-6DQMEAT
(0.000027)
F =
6.55 R2 =
0.67422
2.
Interpretasi dan Kajian Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas
dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 6.55 yaitu berarti bahwa bahwa perubahan
pada variabel dalam hal ini pertumbuhan koversi lahan beras, lag pertumbuhan GDP, lag produksi
beras, lag produksi kedelai, lag produksi gula, dan selisih produksi daging secara bersama-sama menyebabkan perubahan
pada jumlah penduduk
miskin secara signifikan.
Nilai R2 sebesar 0.67422 menunjukkan
bahwa variabel pertumbuhan
koversi lahan beras, lag pertumbuhan GDP, lag produksi beras, lag produksi
kedelai, lag produksi gula, dan selisih produksi daging secara bersama-sama mempengaruhi produksi daging
sebesar 67,422 %, sedangkan
sisanya sebesar 32.578%% dipengaruhi variabel lain di luar model ini.
Jika pertumbuhan konversi lahan beras (GCOVBRS)
naik sebesar 1 satuan maka jumlah penduduk miskin (PVT) akan meningkat sebesar 0.114783 satuan. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sumaryanto, dkk (2000) yang berjudul Konversi Lahan Sawah
ke Penggunaan Nonpertanian dan Dampak Negatifnya yang menyatakan bahwa konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya mata
pencaharian sebagian anggota masyarakat setempat, khususnya petani dan buruh
tani. Oleh karena sebagian dari mereka tidak dapat menjangkau kesempatan kerja
dan usaha yang baru maka konversi lahan sawah diduga juga mengakibatkan
terjadinya peningkatan kemiskinan di wilayah tersebut.
Kenaikan LAG pertumbuhan GDP
sebesar 1 satuan akan menyebabkan penurunan pada jumlah penduduk miskin
(PVT) sebesar 0.92901 satuan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Chairul
Nizar, dkk (2013) yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh
terhadap kemiskinan, dimana jika terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi (GDP)
sebesar 1 unit maka akan menurunkan persentase kemiskinan di Indonesia sebesar
0,000361%. Akan tetapi hasil penelitian di atas bertolak belakang
dengan laporan Bank Dunia tentang kesenjangan antara pertumbuhan dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Dalam laporan dengan tema World Development Report: Sustainable
Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, And Quality Of
Life melaporkan bahwa ditemukan fakta di berbagai belahan dunia, semua negara
telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan berlangsung
secara konsisten selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan penurunan
angka kemiskinan (dengan asumsi pendapatan dibawah $2 per hari).
Kenaikan LAG Produksi Beras (LQBRS) sebesar 1 satuan
maka jumlah penduduk miskin (PVT) akan mengalami penurunan sebesar -4.7E-7. Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Septiadi (2016)
yang berjudul Dampak Kebijakan Perberasan
Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang menyatakan bila dikaitkan dengan komoditi beras, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia
dapat dikurangi bila daya beli rakyat diperbaiki dan pasokan beras dijaga
kelangsungannya (menjamin keamanan/kedaulatan pangan). Peningkatan daya beli
beras dalam siklus ekonomi akan mendorong peningkatan kesejahteraan dan mampu
mengurangi kemsikinan di Indonesia.
Jika LAG produksi kedelai (LQKDL ) naik sebesar 1 satuan
maka jumlah penduduk miskin (PVT) akan
menurun sebesar 9.67E-6 satuan.
Hal ini sesuai dengan kajian
Susanto, dkk (2013) pada jurnal Dampak Perubahan Struktural Sektor Pertanian Terhadap
Kemiskinan Dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lag
produksi sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah
penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Apabila LAG produksi
gula (LQGULA) naik 1 satuan, maka jumlah
penduduk miskin (PVT) akan menurun
sebesar 1.24E-6
satuan. Hal ini
sesuai dengan kajian Susanto, dkk (2013) pada jurnal Dampak
Perubahan Struktural Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan Dan Kesempatan Kerja di
Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lag produksi sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Dan dengan kenaikan
selisih produksi daging (DQMEAT) sebesar 1 satuan akan mengakibatkan jumlah
penduduk miskin (PVT) turun sebesar
2.57E-6. Hal ini
sesuai dengan kajian Rusastra, dkk (2010) dalam jurnal Krisis
Global Pangan-Energi-Finansial: Dampak Dan Respon Kebijakan Ketahanan Pangan
Dan Pengentasan Kemiskinan. Ketersediaan pangan akan berpengaruh terhadap
harga dan akses pangan yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ketahanan
pangan dan kemiskinan. Adapun jenis pangan yang diperhitungkan
sebagai kebutuhan dasar adalah padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan
hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasil ikan lainnya, daging, dan sebagainya.
Model
|
QMEAT
|
Dependent variable
|
QMEAT
|
Label
|
Produksi
Daging
|
Model
|
4
|
1.268E11
|
3.17E10
|
34.75
|
<0.0001
|
Error
|
21
|
1.915E10
|
9.1207E8
|
|
|
Corrected var
|
25
|
1.459E11
|
|
|
|
Root MSE
|
30200.5008
|
|
R- Square
|
0.86876
|
Dependent Mean
|
388158.846
|
|
Adj R-Sq
|
0.84377
|
Coeff Var
|
7.78045
|
|
|
|
Intercept
|
1
|
118486.8
|
73464.55
|
1.61
|
0.1217
|
Intercept
|
JPT
|
1
|
9216.420
|
5774.430
|
1.60
|
0.1254
|
Jumlah Populasi Sapi
|
PLMEAT
|
1
|
0.951031
|
0.546225
|
1.74
|
0.0963
|
Harga Lokal Daging
|
SBI
|
1
|
-1036.65
|
1224.400
|
-0.85
|
0.4067
|
SBI
|
LQMEAT
|
1
|
0.343560
|
0.195970
|
1.75
|
0.0942
|
LAG Produksi Daging
|
Durbin-Watson
|
2.40028
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
-0.23406
|
1. Persamaan
QMEAT
= 118486.8
+ 9216.420JPT
+ 0.951031PLMEAT
- 1036.65SBI
(73464.55) (5774.4300)C (0.546225)B (1224.400)
+ 0.343560LQMEAT
(0.195970)C
F = 34.75 R2 = 0.86876
2. Interpretasi
dan Kajian per Variabel
Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai F sebesar 34.75. Nilai ini lebih besar dari nilai T tabel (2,8401), yang
berarti bahwa perubahan pada variabel dalam hal ini jumlah populasi ternak,
harga lokal daging, suku bunga bank indonesia, dan lag produksi daging secara
bersama-sama menyebabkan perubahan pada produksi daging secara signifikan.
Nilai R2 sebesar 0.86876 menunjukkan bahwa pertumbuhan variabel
dalam hal ini jumlah populasi ternak, harga lokal daging, suku bunga bank
indonesia, dan lag produksi daging secara bersama-sama mempengaruhi produksi
daging sebesar 86,876 %, sedangkan sisanya sebesar 13,124 % dipengaruhi
variabel lain.
Berdasarkan
data dapat kita lihat bahwa kenaikan jumlah populasi ternak (JPT) sebesar 1000
ekor menyebabkan kenaikan pada produksi daging sebesar 9216.420 kg. Hal
tersebut bertolak belakang dengan pendapat T. Prasetyo dkk (2010) dalam Tinjauan Tentang Populasi Sapi Potong dan
Kontribusinya terhadap Kebutuhan Daging di Jawa Tengah, yang menyatakan
bahwa perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya
seiring dengan perkembangan populasi ternaknya. Hal ini mungkin karena
terjadinya perdagangan ternak antar daerah yang didasarkan pada permintaan
daging.
Demikian juga
pada kenaikan harga lokal daging (PLMEAT) sebesar Rp 1000 menyebabkan kenaikan
pada produksi daging sebesar 0.951031 kg. Hal tersebut bertolak belakang dengan
pendapat W. A. Wulandari dkk (2013) dalam Jurnal
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Di Sumatera Utara, yang
menyatakan Semakin tinggi produksi
daging sapi (barang yang ditawarkan) maka harga daging sapi di Sumatera Utara
akan menurut. Artinya ada hubungan negatif antara harga lokal daging dengan
produksi daging.
Apabila terjadi
kenaikan selama 1 tahun pada LAG produksi daging (LQMEAT), menyebabkan kenaikan produksi daging sebesar
0.343560 kg. Hal serupa dinyatakan oleh Priyono dkk (2017), dalam Dinamika Produksi Daging Sapi di Pulau Jawa
melalui Pendekatan Ekonometrik yang menyatakan bahwa produksi daging sapi di Jawa Tengah secara
nyata dipengaruhi oleh lag produksi daging sapi dan memiliki hubungan positif.
Namun hal
berbeda terjadi pada suku bunga indonesia yang memiliki perbedaan tanda dengan
produksi daging yang memiliki arti hubungan negatif. Apabila terjadi
peningkatan suku bunga indonesia (SBI) sebesar 1% menyebabkan penurunan
produksi daging sebesar 1036.65 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat A. Ilham
(2001) dalam Jurnal Analisis Penawaran
Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia yang menyatakan bahwa tingkat suku
bunga bank memberikan pengaruh negatif, namun pada usaha peternakan rakyat
pengaruhnya tidak nyata.
Model
|
MMEAT
|
Dependent variable
|
MMEAT
|
Label
|
Impor Daging
|
Model
|
4
|
7.149E10
|
1.787E10
|
16.96
|
< .0001
|
Error
|
21
|
2.212E10
|
1.0535E9
|
|
|
Corrected var
|
25
|
9.373E10
|
|
|
|
Root MSE
|
32458.0218
|
|
R-Square
|
0.76366
|
Dependent Mean
|
54537.3846
|
|
Adj
R-Sq
|
0.71864
|
Coeff Var
|
59.51518
|
|
|
|
Intercept
|
1
|
26101.76
|
62137.59
|
0.6787
|
0.42
|
Intercept
|
QMEAT
|
1
|
-0.12171
|
0.205948
|
0.5608
|
-0.59
|
Produksi
Daging
|
DPIMEAT
|
1
|
-5.37108
|
7.833445
|
0.5004
|
-0.69
|
Selisih
Harga Impor Daging
|
PLMEAT
|
1
|
1.456393
|
0.586845
|
2.48
|
0.0216
|
Harga
Lokal Daging
|
LMMEAT
|
1
|
0.310304
|
0.198574
|
1.56
|
0.1331
|
LAG
Impor Daging
|
Durbin-Watson
|
1.41388
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
0.210371
|
1. Persamaan
MMEAT = 26101.76 - 0.12171QMEAT - 5.37108DPIMEAT +
1.456393PLMEAT
(62137.59) (0.205948) (7.833445) (0.586845)A
+
0.310304LMMEAT
(0.198574)C
F = 16.96 R2 = 0.76366
2. Interpretasi dan kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa
nilai F sebesar 16.96. Nilai ini lebih besar dari nilai T tabel sebesar 2,8401.
yaitu berarti bahwa perubahan pada jumlah variabel produksi daging, selisih
harga impor daging, harga lokal daging dan LAG impor daging secara bersama-sama
akan menyebabkan perubahan pada impor daging secara signifikan. Nilai R2 sebesar
0.76366 menunjukkan bahwa pertumbuhan variabel produksi daging, selisih harga
impor daging, harga lokal daging dan LAG impor daging berpengaruh terhadap
impor daging sebesar 76,366 % sedangkan sisanya sebesarnya 23,634 % di
pengaruhi oleh variabel lain.
Dimana jika Produksi Daging (QMEAT) naik sebesar 1 ton
maka impor daging (MMEAT) akan turun sebesar 0.12171 ton. Hal ini sesuai dengan
kajian kurniawan (2013) dengan judul
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia yaitu bahwa prds
dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap perubahan impor beras di Indonesia.
Jika terjadi kenaikan Selisih Harga Impor Daging
(DPIMEAT) sebesar Rp1000/kg maka akan menyebabkan penurunan pada impor daging
(MMEAT) sebesar 5.37108 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Setiawan, dkk (2016) Jurnal Dampak Kebijakan Input,Otput, Dan
Perdagangan Beras Terhadap Diversifikasi Pangan Pokok diperoleh kesimpulan
yang menunjukkan dimana delta harga jagung impor berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap volume impor beras Indonesia.
Demikian juga pada kenaikan Harga Lokal Daging
(PLMEAT) sebesar Rp1000/kg maka impor daging (MMEAT) akan naik sebesar 1.456393
ton. Hal ini sesuai dengan kajian Syamsudin (2013) yang berjudul Jurnal Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia
yaitu bahwa pengaruh antara harga beras terhadap impor beras di Indonesia
dimana apabila terjadi kenaikan harga beras sebesar 1 unit maka akan
menyebabkan kenaikan pada impor beras di Indonesia.
Dan juga pada kenaikan LAG Impor Daging (LMMEAT)
sebesar 1 ton akan menyebabkan kenaikan impor daging (MMEAT) sebesar 0.310304
ton. Hal ini sesuai dengan kajian Setiawan, dkk (2016) dalam jurnal Jurnal Dampak Kebijakan Input, Otput, dan
Perdagangan Beras Terhadap Diversifikasi Pangan Pokok yaitu bahwa LAG impor
beras berpengaruh positif dan signifikan terhadap kenaikan impor beras.
Model
|
XMEAT
|
Dependent variable
|
XMEAT
|
Label
|
Ekspor Daging
|
Model
|
2
|
8974.549
|
4487.274
|
1.60
|
0.2236
|
Error
|
23
|
64506.91
|
2804.648
|
|
|
Corrected var
|
25
|
73506.04
|
|
|
|
Root MSE
|
52.95893
|
|
R- Square
|
0.12213
|
Dependent Mean
|
22.80769
|
|
Adj R-Sq
|
0.04580
|
Coeff Var
|
232.19768
|
|
|
|
Intercept
|
1
|
94.27806
|
48.19492
|
1.96
|
0.0627
|
Intercept
|
GQMEAT
|
1
|
111.8843
|
109.9031
|
1.02
|
0.3193
|
Pertumbuhan Produksi
Daging
|
CDMEAT
|
1
|
0.00016
|
0.0001000
|
-1.58
|
0.1267
|
Konsumsi Domestik
Daging
|
Durbin-Watson
|
1.951373
|
Number of Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
0.007507
|
3.
Persamaan
XMEAT
= 94.27806 + 111.8843GQMEAT - 0.00016CDMEAT
(48.19492)
B (109.9031) (0.0001000) C
F =
1.60 R2 =
0.12213
4.
Interpretasi dan
Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis di atas dapat diketahui bahwa
nilai F sebesar 1.60. Nilai ini lebih kecil dari T tabel, menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan produksi
daging dan konsumsi domestik daging secara bersama-sama terhadap ekspor daging.
Nilai R2 = 0.12213 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan
konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 12,213% terhadap ekspor daging.
Sedangkan sisanya (100% - 12,213% = 87,787%) dipengaruhi oleh variabel lain di
luar model ini.
Jika pertumbuhan produksi daging (GQMEAT) naik sebesar 1%,
maka ekspor daging (XMEAT) akan meningkat sebesar 111.8843
ton.
Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Puspita, dkk (2015) dengan judul Pengaruh Produksi
Kakao Domestik, Harga Kakao Internasional, Dan Nilai Tukar Terhadap Ekspor
Kakao Indonesia Ke Amerika Serikat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi kakao
domestik berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor kakao.
Bertolak belakang dengan kajian yang dilakukan oleh Aditama, dkk (2015)
dengan judul Pengaruh Produksi Dan Nilai
Tukar Terhadap Volume Ekspor (Studi Pada Volume Ekspor Jahe Indonesia Ke Jepang
Periode 1994-2013). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif
dan tidak signifikan antara variabel produksi terhadap volume ekspor jahe
Indonesia ke Jepang.
Sedangkan
kenaikan konsumsi domestik daging (CDMEAT) sebesar 1 ton akan menyebabkan penurunan
pada ekspor daging (XMEAT) sebesar 0.00016 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Siregar
(2008) dengan judul Produksi, Konsumsi,
Harga Dan Ekspor Kopi Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Utama di Asia, Amerika
dan Eropa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsumsi domestik kopi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor kopi.
Model
|
CDMEAT
|
Dependent variable
|
CDMEAT
|
Label
|
Konsumsi Domestik daging
|
Model
|
7
|
2.806E11
|
4.008E10
|
114.35
|
<.0001
|
Error
|
18
|
6.3096E9
|
3.5053E8
|
|
|
Corrected var
|
25
|
2.87E11
|
|
|
|
Root MSE
|
18722.4956
|
R- Square
|
0.97801
|
Dependent Mean
|
475328.983
|
Adj R-Sq
|
0.96945
|
Coeff Var
|
3.93885
|
|
|
Intercept
|
1
|
195654.8
|
45521.01
|
4.30
|
0.0004
|
Intercept
|
GPLMEAT
|
1
|
-43690.1
|
45467.96
|
-0.96
|
0.3493
|
Pertumbuhan
Harga Lokal Daging
|
PIMEAT
|
1
|
-1.83365
|
6.826251
|
-0.27
|
0.7913
|
Harga Impor Daging
|
SPMEAT
|
1
|
0.591133
|
0.097479
|
6.06
|
<.0001
|
Penawaran Daging
|
PLBRS
|
1
|
35.72146
|
19.57558
|
1.82
|
0.0847
|
Harga Lokal Beras
|
PLKDL
|
1
|
-10.1121
|
9.925437
|
-1.02
|
0.3218
|
Harga
Lokal Kedelai
|
PLGULA
|
1
|
-2.75571
|
3.318759
|
-0.83
|
0.4172
|
Harga Lokal Gula
|
LCDMEAT
|
1
|
0.015247
|
0.138391
|
0.11
|
0.9135
|
LAG Konsumsi
Domestik Daging
|
Durbin-Watson
|
1.770809
|
Number of Observation
|
26
|
First-Order Autocorrelation
|
0.047578
|
1.
Persamaan
CDMEAT = 195654.8 - 43690.1GPLMEAT
- 1.83365PIMEAT
(45521.01) (45467.96) (6.826251)
+ 0.591133 SPMEAT
+ 35.72146 PLBRS -
10.1121 PLKDL (0.097479) (19.57558) (9.925437)
- 2.75571 PLGULA +
0.015247 LCDMEAT (3.318759) (0.138391)
F = 114.35 R2 = 0.97801
2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis
diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 114.35 yaitu berarti bahwa
perubahan pada variabel pertumbuhan harga lokal daging, harga impor daging,
penawaran daging, harga lokal beras, harga lokal kedelai, harga lokal gula, dan
lag konsumsi domestik daging secara bersama-sama akan menyebabkan perubahan
pada konsumsi domestik daging secara signifikan. Nilai R2
= 0.97801 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik
daging hanya berpengaruh 97.801% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 97.801% = 2.199%)
dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Pertumbuhan harga lokal daging
(GPLMEAT) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging
(CDMEAT) sebesar 43680 kg. hal ini sesuai dengan kajian Ilham
(2001) pada jurnal Analisis
Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia membuktikan bahwa tingkat
konsumsi daging sapi responsif terhadap perubahan harga.
Kenaikan harga impor daging (PIMEAT)
sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT)
sebesar 1.83365 kg.
Kenaikan penawaran daging (SPMEAT)
sebesar 1 kg akan menyebabkan kenaikan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar
0.591133 kg. Penelitian yang dilakukan oleh
Kariyasa (2005), menunjukkan bahwa harga daging sapi di dalam negeri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi daging sapi. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fizanti dkk (dalam Ardiyati 2011)
yang dalam studinya menyimpulkan bahwa harga daging sapi berpengaruh positif
terhadap penawaran daging sapi.
Kenaikan
harga lokal beras (PLBRS) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan
kenaikan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 35.72146 kg. Hal ini sesuai
dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi
Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan
adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras
merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging
broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Kenaikan
harga lokal kedelai (PLKDL) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan
penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 10.1121 kg. Hal ini sesuai
dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi
Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan
adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras
merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging
broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Kenaikan
harga lokal gula (PLGULA) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan
penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 2.75571 kg. Hal ini sesuai
dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi
Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan
adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras
merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging
broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Kenaikan
lag konsumsi domestik daging (LCDMEAT) sebesar Rp1000/kg
akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 0.015891
kg. hal ini sesuai dengan kajian Agustin (2015) dalam jurnal Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia Tahun 1986-2015. Harga daging sapi yang meningkat akan menurunkan permintaan
daging sapi nasional. Hubungan tersebut terlihat dari tanda negatif pada
elastisitas perubahan permintaan terhadap perubahan harga. Kurva permintaan
yang elastis (landai) menunjukkan bahwa perubahan harga sepanjang kurva akan
mempengaruhi kuantitas secara signifikan. Elastisitas permintaan daging sapi
ini dapat menjadi salah satu parameter untuk mengetahui pola perilaku konsumen
dalam mengkonsumsi daging sapi. Perubahan harga daging sapi akan segera
direspon oleh masyarakat dengan menahan atau melakukan pembelian
Model
|
PLMEAT
|
Dependent variable
|
PLMEAT
|
Label
|
Harga
Lokal Daging
|
Model
|
5
|
2.382E10
|
4.76442E9
|
1142.04
|
<.0001
|
Error
|
20
|
83436052
|
4171803
|
|
|
Corrected var
|
25
|
2.391E10
|
|
|
|
Root MSE
|
2042.49911
|
|
R- Square
|
0.99651
|
Dependent Mean
|
41351.4231
|
|
Adj R-Sq
|
0.99564
|
Coeff Var
|
4. 93937
|
|
|
|
Intercept
|
1
|
4733.758
|
4655.068
|
1.02
|
0.3213
|
Intercept
|
QMEAT
|
1
|
-0.06852
|
0.027254
|
-2.51
|
0.0206
|
Produksi Daging
|
CDMEAT
|
1
|
0.
047609
|
0.025822
|
1.84
|
0.0801
|
Konsumsi Domestik
Daging
|
LMMEAT
|
1
|
-0.04620
|
0.013846
|
-3.34
|
0.0033
|
LAG Impor Daging
|
PLBRS
|
1
|
4.384556
|
1.689743
|
2.59
|
0.0173
|
Harga Lokal Beras
|
LPLMEAT
|
1
|
0.876926
|
0.097574
|
8.99
|
<.0001
|
LAG Harga Lokal Daging
|
Durbin-Watson
|
1.968961
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
-0.05842
|
1. Persamaan
PLMEAT
= 4733.758 –
0.06852QMEAT + 0.047609CDMEAT – .04620LMMEAT
(4655.068) (0.027254)A (0.025822)B
(0.013846)A
+ 4.384556 PLBRS + 0.876926 LPLMEAT
(1.689743)A (0.097574)
F = 1142.04 R2
= 0.99651
2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Hasil
analisis menunjukkan bahwa F sebesar 1142.04 yang berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan antara produksi daging, konsumsi domestik
daging, lag impor daging, harga lokal beras, dan lag harga lokal beras secara
bersama-sama terhadap harga lokal daging. Nilai R2 = 0. 99651 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik
daging hanya berpengaruh 99,651% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya
(100% - 99,651% = 0,349%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan
data dapat kita lihat bahwa peningkatan produksi daging (QMEAT) sebesar 1 kg
menyebabkan berkurangnya harga lokal daging sebesar Rp0.06852/kg. Dimana hal
ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang terdapat di jurnal Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Lokal Di Kota Makassar oleh Ardans, dkk yang menyatakan produksi berpengaruh
terhadap harga. Ketika produksi daging sapi lokal meningkat maka harga daging
sapi lokal akan menurun, yang berarti jumlah penawaran daging sapi lokal di
Kota Makassar melebihi permintaan, begitupun sebaliknya (Pyndick dan Daniel,
2003)”.
Berdasarkan
data dapat kita lihat bahwa peningkatan Konsumsi Domestik Daging (CDMEAT)
sebesar 1 kg menyebabkan harga lokal daging menigkat sebesar Rp0.047609/kg, hal
ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang terdapat di jurnal Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Lokal Di Kota Makassar oleh Ardans, dkk yang menyatakan konsumsi (permintaan)
memiliki pengaruh terhadap harga. Ketika konsumsi daging sapi lokal menurun
maka harga daging sapi lokal juga akan menurun. Sebaliknya ketika konsumsi
daging sapi lokal meningkat maka harga daging sapi lokal juga akan meningkat.
Kemudian
pada penurunan LAG Impor Daging (LMMEAT) sebesar 1 tahun menyebabkan kenaikan
pada harga lokal daging sebesar Rp0.04620/kg. Hal ini sesuai dengan kajian
Ilham (2001) pada jurnal yang berjudul Analisis
Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia (Supply and Demand Analysis
of Beef Meat in Indonesia).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penurunan lag impor daging berpengaruh
positif dan signifikan terhadap harga lokal daging.
Kemudian
peningkatan pada Harga Lokal Beras (PLBRS) sebesar Rp1.000/kg satuan
menyebabkan kenaikan harga lokal daging sebesar Rp4.384556/kg. Hal ini bertolak
belakang dengan kajian Isyanto (2008) di jurnal yang berjudul Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Di Kabupaten Ciamis oleh yang menyatakan bahwa harga beras berpengaruh sangat
signifikan terhadap permintaan daging ayam dengan pengaruh
yang negatif, artinya apabila ada kenaikan harga beras maka permintaan terhadap
daging ayam akan mengalami penurunan.
Selain
itu, apabila terjadi peningkatan LAG Harga Lokal Daging sebesar 1 satuan
menyebabkan kenaikan harga lokal daging sebesar Rp0.876926/kg. Hal ini didukung
dengan penelitian terdahulu oleh Permana (2006) pada jurnal Analisis
Jaringan Pemasaran Komoditas Sayuran (Kasus Petani Kecil Ciwidey, Bandung) yang menyatakan kooefisien lag harga komoditas petsai di
pasar penampungan Caringin dari bulan sebelumnya berpengaruh nyata terhadap
perubahan harga komoditas petsai yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien
lag tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas petsai Rp 100/kg
di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas
petsai Rp 48,10/kg di Pasar Ciwidey.
Model
|
PIMEAT
|
Dependent variable
|
PIMEAT
|
Label
|
Harga Impor Daging
|
Model
|
4
|
5165802
|
1291450
|
4.26
|
0.0111
|
Error
|
21
|
6365809
|
303133.8
|
|
|
Corrected var
|
25
|
11531611
|
|
|
|
Root MSE
|
550.57586
|
R- Square
|
0.44797
|
Dependent Mean
|
2086.84009
|
Adj R-Sq
|
0.34282
|
Coeff Var
|
26.38323
|
|
|
Intercept
|
1
|
587.7448
|
388.7724
|
1.51
|
0.1455
|
Intercept
|
DMMEAT
|
1
|
-0.00196
|
0.002894
|
-0.68
|
0.5064
|
Selisih Impor Daging
|
LPWMEAT
|
1
|
0.696590
|
0.173502
|
4.01
|
0.0006
|
LAG Harga Dunia Daging
|
LMDMEAT
|
1
|
28.11296
|
11.60141
|
2.42
|
0.0245
|
LAG Tarif Impor Daging
|
DER
|
1
|
-0.01006
|
0.068529
|
-0.15
|
0.8847
|
Selisih Nilai Tukar
|
Durbin-Watson
|
2.043016
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order
Autocorrelation
|
-0.22878
|
1.
Persamaan
PIMEAT = 587.7448 - 0.00196DMMEAT + 0.696590LPWMEAT
(388.7724)C (0.002894) (0.173502)
28.11296LMDMEAT
– 0.01006DER
(11.60141)A (0.068529)
F = 4.26 R2 = 0.44797
2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa
nilai F sebesar 16.96 yaitu bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara selisih impor daging, lag harga dunia daging, lag tarif impor daging,
dan selisih nilai tukar secara bersama-sama terhadap harga impor daging. Nilai R2 = 0. 76366 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi
daging dan konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 99,651% terhadap ekspor
daging. Sedangkan sisanya (100% - 76,366 % = 0,349%) dipengaruhi
oleh variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan data dapat
kita lihat bahwa peningkatan selisih impor daging (DMMEAT) sebesar 1 kg
menyebabkan berkurangnya harga impor daging sebesar Rp0.00196/kg. Hal ini sesuai dengan kajian Zainuddin, dkk dalam Jurnal Integrasi Harga Sapi Di Pasar
Domestik Dan Pasar Internasional yaitu dalam
jangka panjang harga daging sapi domestik dipengaruhi oleh harga daging sapi
dunia (impor), yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara importir daging
sapi, sehingga stabilitas harga daging sapi Indonesia tergantung pada harga
daging sapi dunia.
Berdasarkan data dapat
kita lihat bahwa peningkatan LAG harga dunia daging (LPWMEAT) sebesar 1 kg
menyebabkan harga impor daging sebesar
Rp0.696590/kg. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Ilham (2001) pada
jurnal Analisis Penawaran Dan Permintaan
Daging Sapi Di Indonesia yaitu penawaran industri peternakan rakyat
dipengaruhi harga daging sapi dunia, harga sapi bakalan impor dan tingkat suku
bunga. Permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi serta reponsif
terhadap perubahan harga daging.
Demikian juga pada
kenaikan LAG tarif impor daging (LMDMEAT) sebesar 1 satuan menyebabkan kenaikan
pada harga impor daging sebesar Rp28.11296/kg. Hal ini
sesuai dengan kajian oleh Priyanto (2005) dengan jurnal Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Melalui Analisis Penawaran Dan
Permintaan yaitu pada saat pengenaan tarif impor sebesar 40% cukup besar
mempengaruhi peningkatan harga impor daging, sehingga cenderung menekan impor
daging sapi.
Demikian juga pada
kenaikan selisih nilai tukar (DER) sebesar Rp1000 menyebabkan penurunan pada
harga impor daging sebesar Rp0.01006./kg. hal ini sesuai dengan
kajian oleh Prafajarika, dkk (2016) dengan jurnal Pengaruh Nilai Tukar, Harga
Dalam Negeri dan Harga Internasional Terhadap Volume Impor Daging Sapi Indonesia yaitu
bahwa nilai tukar secara parsial memiliki nilai yang
positif dan berpengaruh signifikan terhadap volume impor.
Model
|
PGB
|
Dependent variable
|
PGB
|
Label
|
Prevalensi
Gizi Buruk
|
Model
|
5
|
1220.172
|
244.0344
|
103.35
|
<.0001
|
Error
|
20
|
47.22666
|
2.361333
|
|
|
Corrected var
|
25
|
1268.626
|
|
|
|
Root MSE
|
1.53666
|
R- Square
|
0.96274
|
Dependent Mean
|
16.60155
|
Adj R-Sq
|
0.95342
|
Coeff Var
|
9.25614
|
|
|
Intercept
|
1
|
53.15320
|
3.065100
|
17.34
|
<.0001
|
Intercept
|
GDPA
|
1
|
-0.00904
|
0.009930
|
-0.91
|
0.3737
|
NTB Sektor Pertanian
|
SPBRS
|
1
|
-5.72E-7
|
1.963E-7
|
-2.91
|
0.0086
|
Penawaran Beras
|
LMKDL
|
1
|
-3.47E-7
|
1.175E-6
|
-0.30
|
0.7707
|
LAG Impor Kedelai
|
LMGULA
|
1
|
-2.21E-7
|
9.053E-6
|
-2.44
|
0.0240
|
LAG Impor Gula
|
LSPMEAT
|
1
|
-0.00001
|
9.245E-6
|
-1.31
|
0.2046
|
LAG Penawaran Daging
|
Durbin-Watson
|
0.680213
|
Number of
Observation
|
26
|
First-Order Autocorrelation
|
0.567154
|
1. Persamaan
PGB = 53.15320 - 0.00904GDPA - 5.7E-7SPBRS
- 3.47E-7LMKDL
(-3.065100) (0.009930) (1.963E-7) (1.175E-6)
- 2.21E-6LMGULA - 0.00001LSPMEAT
(9.052E-7)A (9.245E-6)C
F =
103.35 R2
= 0.96274
2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis di atas dapat diketahui bahwa
nilai F sebesar 103.35. Nilai ini lebih besar dari T tabel
(2.71089), menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara NTB sektor
pertanian, penawaran beras, LAG impor kedelai, LAG impor gula, dan LAG
penawaran daging secara bersama-sama terhadap Prevaleni gizi buruk. Nilai R2
= 0.96274 menunjukkan bahwa NTB sektor pertanian, penawaran beras, LAG impor
kedelai, LAG impor gula, dan LAG penawaran daging berpengaruh 96.274% terhadap
ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 96.274% = 3.726%) dipengaruhi oleh
variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui
jika NTB sektor pertanian (GDPA) naik 1%
maka Prevalensi gizi buruk (PGB) akan menurun sebesar 0.00904%. Hal ini
sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Bu’ulolo (2017) yang mengatakan bahwa
berkurangnya jumlah lahan pertanian akan berpengaruh terhadap pravelensi gizi buruk.
Jika penawaran beras (SPBRS) naik 1 ton maka
prevalensi gizi buruk (PGB) akan turun 5.72E-7%. Hal ini tidak sesuai dengan
kajian yang dilakukan oleh Rusyantia, dkk (2010) dengan judul Kajian Ketahanan Pangan Rumah
tangga Pedesaan Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Masyarakat di Kabupaten
Lampung Selatan. Hasil kajian
tersebut menunjukkan bahwa desa
dengan potensi ketersediaan beras per kapita yang lebih tinggi tidak menjamin
penduduknya akan memiliki status gizi lebih baik dibandingkan dengan desa yang
memiliki potensi ketersediaan beras yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui
jika LAG Impor Kedelai (LMKDL) naik 1 satuan
maka prevalensi gizi buruk (PGB) akan menurun sebesar 3.47E-7%. Hal ini
sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Sulistyoningsih (2012) yang mengatakan
bahwa masalah gizi yang timbul pada usia sekolah khususnya remaja dipicu oleh
beberapa faktor seperti kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi yang salah,
kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan, promosi yang berlebihan
tentang produk makanan di media masa dan maraknya produk impor makanan.
Sama halnya dengan LAG impor gula, jika LAG impor
gula (LNGULA) naik 1% maka prevalensi gizi buruk akan turun sebesar -2.21E-7.
Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Sulistyoningsih (2012) yang
mengatakan bahwa masalah gizi yang timbul pada usia sekolah khususnya remaja
dipicu oleh beberapa faktor seperti kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi
yang salah, kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan, promosi yang
berlebihan tentang produk makanan di media masa dan maraknya produk impor
makanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar