Kamis, 21 Maret 2019

interpretasi ekonometrika dan sign

TUGAS EKONOMETRIKA


Model
PVT
Dependent variable
PVT
Label
Jumlah Penduduk Miskin

Model
6
833.1200
138.8533
6.55
0.0007
Error
19
402.5656
21.18766


Corrected var
25
1235.686




Root MSE
4.60301

R- Square
0.67422
Dependent Mean
32.48615

Adj R-Sq
    0.57134
Coeff Var
14.16913




Intercept
1
68.38190
9.536379
7.17
<.0001
Intercept
GCOVBRS
1
0.114783
0.342185
0.34
0.7410
Pertumbuhan Konversi Lahan Beras
LGDRP
1
-0.92901
0.294232
-3.23
0.0045
LAG Pertumbuhan GDP
LQBRS
1
-4.7E-7
2.752E-7
-1.71
0.1037
LAG Produksi Beras
LQKDL
1
-9.67E-6
3.093E-6
-3.13
0.0056
LAG Produksi Kedelai
LQGULA
1
-1.24E-6
4.165E-6
-0.30
0.7686
Lag Produksi Gula
DQMEAT
1
-2.57E-6
0.000027
-0.10
0.9244
Selisih Produksi Daging

Durbin-Watson
1.959076
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
0.015771

1.        Persamaan
PVT        =         68.38190      +  0.114783GCOVBRS    -   0.92901LGDPR 
                                                         (0.342185)                       (0.294232)A

                          -   4.7E-7LQBRS   -   9.67E-6LQKDL   -    1.24E-6LQGULA  
                              (2.752E-7)C            (3.093E-6)A              (4.165E-6)

                          -    2.57E-6DQMEAT
                                   (0.000027)
                       
F = 6.55                       R2 = 0.67422
2.        Interpretasi dan Kajian Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 6.55 yaitu berarti bahwa bahwa perubahan pada variabel dalam hal ini pertumbuhan koversi lahan beras, lag pertumbuhan GDP, lag produksi beras, lag produksi kedelai, lag produksi gula, dan selisih produksi daging secara bersama-sama menyebabkan perubahan pada jumlah penduduk miskin secara signifikan. Nilai R2 sebesar 0.67422 menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan koversi lahan beras, lag pertumbuhan GDP, lag produksi beras, lag produksi kedelai, lag produksi gula, dan selisih produksi daging secara bersama-sama mempengaruhi produksi daging sebesar 67,422 %, sedangkan sisanya sebesar 32.578%% dipengaruhi variabel lain di luar model ini.
Jika pertumbuhan konversi lahan beras (GCOVBRS) naik sebesar 1 satuan maka jumlah penduduk miskin (PVT)  akan meningkat sebesar 0.114783 satuan. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto, dkk (2000) yang berjudul Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian dan Dampak Negatifnya yang menyatakan bahwa konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya mata pencaharian sebagian anggota masyarakat setempat, khususnya petani dan buruh tani. Oleh karena sebagian dari mereka tidak dapat menjangkau kesempatan kerja dan usaha yang baru maka konversi lahan sawah diduga juga mengakibatkan terjadinya peningkatan kemiskinan di wilayah tersebut.
Kenaikan LAG pertumbuhan GDP  sebesar 1 satuan akan menyebabkan penurunan pada jumlah penduduk miskin (PVT)  sebesar 0.92901 satuan. Hal ini sesuai dengan penelitian  Chairul Nizar, dkk (2013) yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan, dimana jika terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi (GDP) sebesar 1 unit maka akan menurunkan persentase kemiskinan di Indonesia sebesar 0,000361%. Akan tetapi hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan laporan Bank Dunia tentang kesenjangan antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Dalam laporan dengan tema World Development Report: Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, And Quality Of Life melaporkan bahwa ditemukan fakta di berbagai belahan dunia, semua negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan (dengan asumsi pendapatan dibawah $2 per hari).
Kenaikan LAG Produksi Beras (LQBRS) sebesar 1 satuan maka  jumlah penduduk miskin (PVT)  akan mengalami penurunan sebesar -4.7E-7. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Septiadi (2016) yang berjudul Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang menyatakan bila dikaitkan dengan komoditi beras, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dikurangi bila daya beli rakyat diperbaiki dan pasokan beras dijaga kelangsungannya (menjamin keamanan/kedaulatan pangan). Peningkatan daya beli beras dalam siklus ekonomi akan mendorong peningkatan kesejahteraan dan mampu mengurangi kemsikinan di Indonesia.
Jika LAG produksi kedelai (LQKDL ) naik sebesar 1 satuan maka jumlah penduduk miskin (PVT)  akan menurun sebesar 9.67E-6 satuan. Hal ini sesuai dengan kajian Susanto, dkk (2013) pada jurnal  Dampak Perubahan Struktural Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan Dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lag produksi sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Apabila LAG produksi gula (LQGULA)  naik 1 satuan, maka jumlah penduduk miskin (PVT)  akan menurun sebesar 1.24E-6 satuan. Hal ini sesuai dengan kajian Susanto, dkk (2013) pada jurnal  Dampak Perubahan Struktural Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan Dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lag produksi sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Dan dengan kenaikan selisih produksi daging (DQMEAT) sebesar 1 satuan akan mengakibatkan jumlah penduduk miskin (PVT)  turun sebesar 2.57E-6. Hal ini sesuai dengan kajian Rusastra, dkk (2010) dalam jurnal Krisis Global Pangan-Energi-Finansial: Dampak Dan Respon Kebijakan Ketahanan Pangan Dan Pengentasan Kemiskinan. Ketersediaan pangan akan berpengaruh terhadap harga dan akses pangan yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ketahanan pangan dan kemiskinan. Adapun jenis pangan yang diperhitungkan sebagai kebutuhan dasar adalah padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasil ikan lainnya, daging, dan sebagainya.


Model
QMEAT
Dependent variable
QMEAT
Label
Produksi Daging

Model
4
1.268E11
3.17E10
34.75
<0.0001
Error
21
1.915E10
9.1207E8


Corrected var
25
1.459E11




Root MSE
30200.5008

R- Square
0.86876
Dependent Mean
388158.846

Adj R-Sq
0.84377
Coeff Var
7.78045




Intercept
1
118486.8
73464.55
1.61
0.1217
Intercept
JPT
1
9216.420
5774.430
1.60
0.1254
Jumlah Populasi Sapi
PLMEAT
1
0.951031
0.546225
1.74
0.0963
Harga Lokal Daging
SBI
1
-1036.65
1224.400
-0.85
0.4067
SBI
LQMEAT
1
0.343560
0.195970
1.75
0.0942
LAG Produksi Daging

Durbin-Watson
2.40028
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
-0.23406

1. Persamaan
QMEAT  =   118486.8    +   9216.420JPT    +   0.951031PLMEAT   -   1036.65SBI
                     (73464.55)      (5774.4300)C            (0.546225)B             (1224.400)          

                     + 0.343560LQMEAT
           (0.195970)C

F = 34.75                              R2 = 0.86876

2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
            Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F sebesar 34.75. Nilai ini lebih besar dari nilai T tabel (2,8401), yang berarti bahwa perubahan pada variabel dalam hal ini jumlah populasi ternak, harga lokal daging, suku bunga bank indonesia, dan lag produksi daging secara bersama-sama menyebabkan perubahan pada produksi daging secara signifikan. Nilai R2 sebesar 0.86876 menunjukkan bahwa pertumbuhan variabel dalam hal ini jumlah populasi ternak, harga lokal daging, suku bunga bank indonesia, dan lag produksi daging secara bersama-sama mempengaruhi produksi daging sebesar 86,876 %, sedangkan sisanya sebesar 13,124 % dipengaruhi variabel lain.
Berdasarkan data dapat kita lihat bahwa kenaikan jumlah populasi ternak (JPT) sebesar 1000 ekor menyebabkan kenaikan pada produksi daging sebesar 9216.420 kg. Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat T. Prasetyo dkk (2010) dalam Tinjauan Tentang Populasi Sapi Potong dan Kontribusinya terhadap Kebutuhan Daging di Jawa Tengah, yang menyatakan bahwa perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya seiring dengan perkembangan populasi ternaknya. Hal ini mungkin karena terjadinya perdagangan ternak antar daerah yang didasarkan pada permintaan daging.
Demikian juga pada kenaikan harga lokal daging (PLMEAT) sebesar Rp 1000 menyebabkan kenaikan pada produksi daging sebesar 0.951031 kg. Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat W. A. Wulandari dkk (2013) dalam Jurnal Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Di Sumatera Utara, yang menyatakan  Semakin tinggi produksi daging sapi (barang yang ditawarkan) maka harga daging sapi di Sumatera Utara akan menurut. Artinya ada hubungan negatif antara harga lokal daging dengan produksi daging.
Apabila terjadi kenaikan selama 1 tahun pada LAG produksi daging (LQMEAT),  menyebabkan kenaikan produksi daging sebesar 0.343560 kg. Hal serupa dinyatakan oleh Priyono dkk (2017), dalam Dinamika Produksi Daging Sapi di Pulau Jawa melalui Pendekatan Ekonometrik yang menyatakan bahwa  produksi daging sapi di Jawa Tengah secara nyata dipengaruhi oleh lag produksi daging sapi dan memiliki hubungan positif.
Namun hal berbeda terjadi pada suku bunga indonesia yang memiliki perbedaan tanda dengan produksi daging yang memiliki arti hubungan negatif. Apabila terjadi peningkatan suku bunga indonesia (SBI) sebesar 1% menyebabkan penurunan produksi daging sebesar 1036.65 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat A. Ilham (2001) dalam Jurnal Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga bank memberikan pengaruh negatif, namun pada usaha peternakan rakyat pengaruhnya tidak nyata.


Model
MMEAT
Dependent variable
MMEAT
Label
Impor Daging

Model
4
7.149E10
1.787E10
16.96
    < .0001
Error
21
2.212E10
1.0535E9


Corrected var
25
9.373E10




Root MSE
32458.0218

R-Square
0.76366
Dependent Mean
54537.3846

Adj R-Sq
0.71864
Coeff Var
59.51518




Intercept
1
26101.76
62137.59
0.6787
0.42
Intercept
QMEAT
1
-0.12171
0.205948
0.5608
-0.59
Produksi Daging
DPIMEAT
1
-5.37108
7.833445
0.5004
-0.69
Selisih Harga Impor Daging
PLMEAT
1
1.456393
0.586845
2.48
0.0216
Harga Lokal Daging
LMMEAT
1
0.310304
0.198574
1.56
0.1331
LAG Impor Daging

Durbin-Watson
1.41388
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
0.210371

1.  Persamaan
MMEAT = 26101.76 - 0.12171QMEAT - 5.37108DPIMEAT + 1.456393PLMEAT
                   (62137.59)    (0.205948)              (7.833445)                  (0.586845)A
                  
                   + 0.310304LMMEAT
                                 (0.198574)C

F = 16.96                     R2 = 0.76366

2. Interpretasi dan kajian per Variabel
            Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 16.96. Nilai ini lebih besar dari nilai T tabel sebesar 2,8401. yaitu berarti bahwa perubahan pada jumlah variabel produksi daging, selisih harga impor daging, harga lokal daging dan LAG impor daging secara bersama-sama akan menyebabkan perubahan pada impor daging secara signifikan. Nilai R2 sebesar 0.76366 menunjukkan bahwa pertumbuhan variabel produksi daging, selisih harga impor daging, harga lokal daging dan LAG impor daging berpengaruh terhadap impor daging sebesar 76,366 % sedangkan sisanya sebesarnya 23,634 % di pengaruhi oleh variabel lain.
Dimana jika Produksi Daging (QMEAT) naik sebesar 1 ton maka impor daging (MMEAT) akan turun sebesar 0.12171 ton. Hal ini sesuai dengan kajian kurniawan (2013) dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia yaitu bahwa prds dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perubahan impor beras di Indonesia.
Jika terjadi kenaikan Selisih Harga Impor Daging (DPIMEAT) sebesar Rp1000/kg maka akan menyebabkan penurunan pada impor daging (MMEAT) sebesar 5.37108 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Setiawan, dkk (2016) Jurnal Dampak Kebijakan Input,Otput, Dan Perdagangan Beras Terhadap Diversifikasi Pangan Pokok diperoleh kesimpulan yang menunjukkan dimana delta harga jagung impor berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume impor beras Indonesia.
Demikian juga pada kenaikan Harga Lokal Daging (PLMEAT) sebesar Rp1000/kg maka impor daging (MMEAT) akan naik sebesar 1.456393 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Syamsudin (2013) yang berjudul Jurnal Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia yaitu bahwa pengaruh antara harga beras terhadap impor beras di Indonesia dimana apabila terjadi kenaikan harga beras sebesar 1 unit maka akan menyebabkan kenaikan pada impor beras di Indonesia.
Dan juga pada kenaikan LAG Impor Daging (LMMEAT) sebesar 1 ton akan menyebabkan kenaikan impor daging (MMEAT) sebesar 0.310304 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Setiawan, dkk (2016) dalam jurnal Jurnal Dampak Kebijakan Input, Otput, dan Perdagangan Beras Terhadap Diversifikasi Pangan Pokok yaitu bahwa LAG impor beras berpengaruh positif dan signifikan terhadap kenaikan impor beras.



Model
XMEAT
Dependent variable
XMEAT
Label
Ekspor  Daging

Model
2
8974.549
4487.274
1.60
0.2236
Error
23
64506.91
2804.648


Corrected var
25
73506.04




Root MSE
52.95893

R- Square
0.12213
Dependent Mean
22.80769

Adj R-Sq
0.04580
Coeff Var
232.19768




Intercept
1
94.27806
48.19492
1.96
0.0627
Intercept
GQMEAT
1
111.8843
109.9031
1.02
0.3193
Pertumbuhan Produksi Daging
CDMEAT
1
0.00016
0.0001000
-1.58
0.1267
Konsumsi Domestik Daging

Durbin-Watson
1.951373
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
0.007507
3.        Persamaan
XMEAT  =        94.27806      +  111.8843GQMEAT    -     0.00016CDMEAT
                        (48.19492) B              (109.9031)                    (0.0001000) C

F = 1.60                       R2 = 0.12213
4.        Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis di atas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 1.60. Nilai ini lebih kecil dari T tabel, menunjukkan bahwa  tidak ada pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik daging secara bersama-sama terhadap ekspor daging. Nilai R2 = 0.12213 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 12,213% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 12,213% = 87,787%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Jika pertumbuhan produksi daging (GQMEAT) naik sebesar 1%, maka ekspor daging (XMEAT) akan meningkat sebesar 111.8843 ton. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Puspita, dkk (2015) dengan judul Pengaruh Produksi Kakao Domestik, Harga Kakao Internasional, Dan Nilai Tukar Terhadap Ekspor Kakao Indonesia Ke Amerika Serikat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi kakao domestik berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor kakao.
Bertolak belakang dengan kajian yang dilakukan oleh Aditama, dkk (2015) dengan judul Pengaruh Produksi Dan Nilai Tukar Terhadap Volume Ekspor (Studi Pada Volume Ekspor Jahe Indonesia Ke Jepang Periode 1994-2013). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif dan tidak signifikan antara variabel produksi terhadap volume ekspor jahe Indonesia ke Jepang.
Sedangkan kenaikan konsumsi domestik daging (CDMEAT) sebesar 1 ton akan menyebabkan penurunan pada ekspor daging (XMEAT) sebesar 0.00016 ton. Hal ini sesuai dengan kajian Siregar (2008) dengan judul Produksi, Konsumsi, Harga Dan Ekspor Kopi Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Utama di Asia, Amerika dan Eropa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsumsi domestik kopi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor kopi.


Model
CDMEAT
Dependent variable
CDMEAT
Label
Konsumsi Domestik daging

Model
7
2.806E11
4.008E10
114.35
<.0001
Error
18
6.3096E9
3.5053E8


Corrected var
25
2.87E11




Root MSE
18722.4956
R- Square
0.97801
Dependent Mean
475328.983
Adj R-Sq
0.96945
Coeff Var
3.93885



Intercept
1
195654.8
45521.01
4.30
0.0004
Intercept
GPLMEAT
1
-43690.1
45467.96
-0.96
0.3493
Pertumbuhan Harga Lokal Daging
PIMEAT
1
-1.83365
6.826251
-0.27
0.7913
Harga Impor Daging
SPMEAT
1
0.591133
0.097479
6.06
<.0001
Penawaran Daging
PLBRS
1
35.72146
19.57558
1.82
0.0847
Harga Lokal Beras
PLKDL
1
-10.1121
9.925437
-1.02
0.3218
Harga Lokal Kedelai
PLGULA
1
-2.75571
3.318759
-0.83
0.4172
Harga Lokal Gula
LCDMEAT
1
0.015247
0.138391
0.11
0.9135
LAG Konsumsi Domestik Daging

Durbin-Watson
1.770809
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
0.047578
1.        Persamaan
CDMEAT  =       195654.8    -    43690.1GPLMEAT    -     1.83365PIMEAT
                            (45521.01)               (45467.96)                   (6.826251)
                        +      0.591133 SPMEAT        +     35.72146 PLBRS    -  10.1121 PLKDL                          (0.097479)                               (19.57558)                      (9.925437)

                        -        2.75571 PLGULA        +        0.015247 LCDMEAT                                                   (3.318759)                                    (0.138391)

                       
F = 114.35                   R2 = 0.97801
2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 114.35 yaitu berarti bahwa perubahan pada variabel pertumbuhan harga lokal daging, harga impor daging, penawaran daging, harga lokal beras, harga lokal kedelai, harga lokal gula, dan lag konsumsi domestik daging secara bersama-sama akan menyebabkan perubahan pada konsumsi domestik daging secara signifikan. Nilai R2 = 0.97801 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 97.801% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 97.801% = 2.199%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Pertumbuhan harga lokal daging (GPLMEAT) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 43680 kg. hal ini sesuai dengan kajian Ilham (2001) pada jurnal Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia membuktikan bahwa tingkat konsumsi daging sapi responsif terhadap perubahan harga.
Kenaikan harga impor daging (PIMEAT) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 1.83365 kg.
Kenaikan penawaran daging (SPMEAT) sebesar 1 kg akan menyebabkan kenaikan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 0.591133 kg. Penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa (2005), menunjukkan bahwa harga daging sapi di dalam negeri berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi daging sapi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fizanti dkk (dalam Ardiyati 2011) yang dalam studinya menyimpulkan bahwa harga daging sapi berpengaruh positif terhadap penawaran daging sapi.
Kenaikan harga lokal beras (PLBRS) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan kenaikan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 35.72146 kg. Hal ini sesuai dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kenaikan harga lokal kedelai (PLKDL) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 10.1121 kg. Hal ini sesuai dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kenaikan harga lokal gula (PLGULA) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 2.75571 kg. Hal ini sesuai dengan kajian Hadini dalam jurnal Analisis Permintaan Dan Prediksi Konsumsi Serta Produksi Daging Broiler Di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Variabel harga beras menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap permintaan daging broiler di Beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat Kota Kendari, sedangkan daging broiler merupakan lauk yang biasanya dikonsumsi bersama nasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kenaikan lag konsumsi domestik daging (LCDMEAT) sebesar Rp1000/kg akan menyebabkan penurunan konsumsi domesik daging (CDMEAT) sebesar 0.015891 kg. hal ini sesuai dengan kajian Agustin (2015) dalam jurnal Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia Tahun 1986-2015. Harga daging sapi yang meningkat akan menurunkan permintaan daging sapi nasional. Hubungan tersebut terlihat dari tanda negatif pada elastisitas perubahan permintaan terhadap perubahan harga. Kurva permintaan yang elastis (landai) menunjukkan bahwa perubahan harga sepanjang kurva akan mempengaruhi kuantitas secara signifikan. Elastisitas permintaan daging sapi ini dapat menjadi salah satu parameter untuk mengetahui pola perilaku konsumen dalam mengkonsumsi daging sapi. Perubahan harga daging sapi akan segera direspon oleh masyarakat dengan menahan atau melakukan pembelian



Model
PLMEAT
Dependent variable
PLMEAT
Label
Harga Lokal  Daging

Model
5
2.382E10
4.76442E9
1142.04
<.0001
Error
20
83436052       
4171803


Corrected var
25
2.391E10




Root MSE
2042.49911

R- Square
0.99651
Dependent Mean
41351.4231

Adj R-Sq
0.99564
Coeff Var
4. 93937




Intercept
1
4733.758
4655.068
1.02
0.3213
Intercept
QMEAT
1
-0.06852
0.027254
-2.51
0.0206
Produksi Daging
CDMEAT
1
0. 047609
0.025822
1.84
0.0801
Konsumsi Domestik Daging
LMMEAT
1
-0.04620
0.013846
-3.34
0.0033
LAG Impor Daging
PLBRS
1
4.384556
1.689743
2.59
0.0173
Harga Lokal Beras
LPLMEAT
1
0.876926
0.097574
8.99
<.0001
LAG Harga Lokal Daging


Durbin-Watson
1.968961
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
-0.05842
1. Persamaan
PLMEAT =  4733.758    0.06852QMEAT  +  0.047609CDMEAT –  .04620LMMEAT
                    (4655.068)        (0.027254)A             (0.025822)B                 (0.013846)A

                 + 4.384556 PLBRS  +  0.876926 LPLMEAT
                       (1.689743)A                 (0.097574)

F = 1142.04                 R2 = 0.99651

2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Hasil analisis menunjukkan bahwa F sebesar 1142.04 yang berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan antara produksi daging, konsumsi domestik daging, lag impor daging, harga lokal beras, dan lag harga lokal beras secara bersama-sama terhadap harga lokal daging. Nilai R2 = 0. 99651 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 99,651% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 99,651% = 0,349%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan data dapat kita lihat bahwa peningkatan produksi daging (QMEAT) sebesar 1 kg menyebabkan berkurangnya harga lokal daging sebesar Rp0.06852/kg. Dimana hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang terdapat di jurnal Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Lokal Di Kota Makassar oleh Ardans, dkk yang menyatakan produksi berpengaruh terhadap harga. Ketika produksi daging sapi lokal meningkat maka harga daging sapi lokal akan menurun, yang berarti jumlah penawaran daging sapi lokal di Kota Makassar melebihi permintaan, begitupun sebaliknya (Pyndick dan Daniel, 2003)”.
Berdasarkan data dapat kita lihat bahwa peningkatan Konsumsi Domestik Daging (CDMEAT) sebesar 1 kg menyebabkan harga lokal daging menigkat sebesar Rp0.047609/kg, hal ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang terdapat di jurnal Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi Lokal Di Kota Makassar oleh Ardans, dkk yang menyatakan konsumsi (permintaan) memiliki pengaruh terhadap harga. Ketika konsumsi daging sapi lokal menurun maka harga daging sapi lokal juga akan menurun. Sebaliknya ketika konsumsi daging sapi lokal meningkat maka harga daging sapi lokal juga akan meningkat.
Kemudian pada penurunan  LAG Impor Daging  (LMMEAT) sebesar 1 tahun menyebabkan kenaikan pada harga lokal daging sebesar Rp0.04620/kg. Hal ini sesuai dengan kajian Ilham (2001) pada jurnal yang berjudul Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia (Supply and Demand Analysis of Beef Meat in Indonesia). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penurunan lag impor daging berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga lokal daging.
Kemudian peningkatan pada Harga Lokal Beras (PLBRS) sebesar Rp1.000/kg satuan menyebabkan kenaikan harga lokal daging sebesar Rp4.384556/kg. Hal ini bertolak belakang dengan kajian Isyanto (2008) di jurnal yang berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Di Kabupaten Ciamis oleh yang menyatakan bahwa harga beras berpengaruh sangat signifikan terhadap permintaan daging ayam dengan pengaruh yang negatif, artinya apabila ada kenaikan harga beras maka permintaan terhadap daging ayam akan mengalami penurunan.
Selain itu, apabila terjadi peningkatan LAG Harga Lokal Daging sebesar 1 satuan menyebabkan kenaikan harga lokal daging sebesar Rp0.876926/kg. Hal ini didukung dengan penelitian terdahulu oleh Permana (2006) pada jurnal Analisis Jaringan Pemasaran Komoditas Sayuran (Kasus Petani Kecil Ciwidey, Bandung) yang menyatakan kooefisien lag harga komoditas petsai di pasar penampungan Caringin dari bulan sebelumnya berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas petsai yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas petsai Rp 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas petsai Rp 48,10/kg di Pasar Ciwidey.


Model
PIMEAT
Dependent variable
PIMEAT
Label
Harga Impor Daging

Model
4
5165802
1291450
4.26
0.0111
Error
21
6365809
303133.8


Corrected var
25
11531611




Root MSE
550.57586
R- Square
0.44797
Dependent Mean
2086.84009
Adj R-Sq
0.34282
Coeff Var
26.38323



Intercept
1
587.7448
388.7724
1.51
0.1455
Intercept
DMMEAT
1
-0.00196
0.002894
-0.68
0.5064
Selisih Impor Daging
LPWMEAT
1
0.696590
0.173502
4.01
0.0006
LAG Harga Dunia Daging
LMDMEAT
1
28.11296
11.60141
2.42
0.0245
LAG Tarif Impor Daging
DER
1
-0.01006
0.068529
-0.15
0.8847
Selisih Nilai Tukar

Durbin-Watson
2.043016
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
-0.22878

1.        Persamaan
PIMEAT  =       587.7448      -      0.00196DMMEAT      +      0.696590LPWMEAT
                        (388.7724)C                  (0.002894)                             (0.173502)                    

                          28.11296LMDMEAT – 0.01006DER
                     (11.60141)A              (0.068529)

F = 4.26             R2 = 0.44797

2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 16.96 yaitu bahwa ada pengaruh yang signifikan antara selisih impor daging, lag harga dunia daging, lag tarif impor daging, dan selisih nilai tukar secara bersama-sama terhadap harga impor daging. Nilai R2 = 0. 76366 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging dan konsumsi domestik daging hanya berpengaruh 99,651% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 76,366 % = 0,349%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan data dapat kita lihat bahwa peningkatan selisih impor daging (DMMEAT) sebesar 1 kg menyebabkan berkurangnya harga impor daging sebesar Rp0.00196/kg. Hal ini sesuai dengan kajian Zainuddin, dkk dalam Jurnal Integrasi Harga Sapi Di Pasar Domestik Dan Pasar Internasional yaitu dalam jangka panjang harga daging sapi domestik dipengaruhi oleh harga daging sapi dunia (impor), yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara importir daging sapi, sehingga stabilitas harga daging sapi Indonesia tergantung pada harga daging sapi dunia.
Berdasarkan data dapat kita lihat bahwa peningkatan LAG harga dunia daging (LPWMEAT) sebesar 1 kg menyebabkan harga impor daging  sebesar Rp0.696590/kg. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Ilham (2001) pada jurnal Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia yaitu penawaran industri peternakan rakyat dipengaruhi harga daging sapi dunia, harga sapi bakalan impor dan tingkat suku bunga. Permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi serta reponsif terhadap perubahan harga daging.
Demikian juga pada kenaikan LAG tarif impor daging (LMDMEAT) sebesar 1 satuan menyebabkan kenaikan pada harga impor daging sebesar Rp28.11296/kg. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Priyanto (2005) dengan jurnal Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Melalui Analisis Penawaran Dan Permintaan yaitu pada saat pengenaan tarif impor sebesar 40% cukup besar mempengaruhi peningkatan harga impor daging, sehingga cenderung menekan impor daging sapi.
Demikian juga pada kenaikan selisih nilai tukar (DER) sebesar Rp1000 menyebabkan penurunan pada harga impor daging sebesar Rp0.01006./kg. hal ini sesuai dengan kajian oleh Prafajarika, dkk (2016) dengan jurnal Pengaruh Nilai Tukar, Harga Dalam Negeri dan Harga Internasional Terhadap Volume Impor Daging Sapi Indonesia yaitu bahwa nilai tukar secara parsial memiliki nilai yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap volume impor.





Model
PGB
Dependent variable
PGB
Label
Prevalensi Gizi Buruk

Model
5
1220.172
244.0344
103.35
<.0001
Error
20
47.22666
2.361333


Corrected var
25
1268.626




Root MSE
1.53666
R- Square
0.96274
Dependent Mean
16.60155
Adj R-Sq
0.95342
Coeff Var
9.25614



Intercept
1
53.15320
3.065100
17.34
<.0001
Intercept
GDPA
1
-0.00904
0.009930
-0.91
0.3737
NTB Sektor Pertanian
SPBRS
1
-5.72E-7
1.963E-7
-2.91
0.0086
Penawaran Beras
LMKDL
1
-3.47E-7
1.175E-6
-0.30
0.7707
LAG Impor Kedelai
LMGULA
1
-2.21E-7
9.053E-6
-2.44
0.0240
LAG Impor Gula
LSPMEAT
1
-0.00001
9.245E-6
-1.31
0.2046
LAG Penawaran Daging

Durbin-Watson
0.680213
Number of Observation
26
First-Order Autocorrelation
0.567154

1.      Persamaan
PGB =     53.15320     -     0.00904GDPA       - 5.7E-7SPBRS      -   3.47E-7LMKDL   
                 (-3.065100)       (0.009930)                  (1.963E-7)           (1.175E-6)
                
                 -  2.21E-6LMGULA    -   0.00001LSPMEAT
                        (9.052E-7)A                      (9.245E-6)C
                
F = 103.35                            R2 = 0.96274

2. Interpretasi dan Kajian per Variabel
Berdasarkan hasil dari analisis di atas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 103.35. Nilai ini lebih besar dari T tabel (2.71089), menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara NTB sektor pertanian, penawaran beras, LAG impor kedelai, LAG impor gula, dan LAG penawaran daging secara bersama-sama terhadap Prevaleni gizi buruk. Nilai R2 = 0.96274 menunjukkan bahwa NTB sektor pertanian, penawaran beras, LAG impor kedelai, LAG impor gula, dan LAG penawaran daging berpengaruh 96.274% terhadap ekspor daging. Sedangkan sisanya (100% - 96.274% = 3.726%) dipengaruhi oleh variabel lain di luar model ini.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui jika NTB sektor pertanian (GDPA) naik 1%  maka Prevalensi gizi buruk (PGB) akan menurun sebesar 0.00904%. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Bu’ulolo (2017) yang mengatakan bahwa berkurangnya jumlah lahan pertanian akan berpengaruh terhadap pravelensi gizi buruk.
Jika penawaran beras (SPBRS) naik 1 ton maka prevalensi gizi buruk (PGB) akan turun 5.72E-7%. Hal ini tidak sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Rusyantia, dkk (2010) dengan judul Kajian Ketahanan Pangan Rumah tangga Pedesaan Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa desa dengan potensi ketersediaan beras per kapita yang lebih tinggi tidak menjamin penduduknya akan memiliki status gizi lebih baik dibandingkan dengan desa yang memiliki potensi ketersediaan beras yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui jika LAG Impor Kedelai (LMKDL) naik 1 satuan  maka prevalensi gizi buruk (PGB) akan menurun sebesar 3.47E-7%. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Sulistyoningsih (2012) yang mengatakan bahwa masalah gizi yang timbul pada usia sekolah khususnya remaja dipicu oleh beberapa faktor seperti kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi yang salah, kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan, promosi yang berlebihan tentang produk makanan di media masa dan maraknya produk impor makanan. 
Sama halnya dengan LAG impor gula, jika LAG impor gula (LNGULA) naik 1% maka prevalensi gizi buruk akan turun sebesar -2.21E-7. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Sulistyoningsih (2012) yang mengatakan bahwa masalah gizi yang timbul pada usia sekolah khususnya remaja dipicu oleh beberapa faktor seperti kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi yang salah, kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan, promosi yang berlebihan tentang produk makanan di media masa dan maraknya produk impor makanan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar